Di LeBul, rumah singgah saya, sedang ada kebiasaan baru yang aneh. Tidak bapak tidak ibu, sedang senang-senangnya menyobek-menggunting sampah sayuran atau kulit buah hingga berukuran kecil-kecil. Bikin teringat anak-anak sedang bermain masak-masakan.
Rupanya mereka sedang mempraktekkan cara pembuatan kompos ala Takakura. Teknik pengomposan ini terpilih untuk diterapkan di rumah karena teknik pengomposan yang dilakukan sebelumnya menimbulkan bau tak sedap.
Lalu, apakah pengomposan dengan keranjang takakura tidak berbau? Umm… mereka tidak perlu menjawab panjang lebar. Saya cukup dengan melihat bagaimana keranjang alias wadah pengomposan itu diletakkan di depan kamar tidur tak jauh dari dapur.
“Bisa dicoba di Cijapun,” saran Bapak. Saya enggan. Teknik ini mudah-terap dan amat cocok untuk rumahan, tapi bila dikawinkan dengan metode petani malas yang do-nothing-farming, punya tentangan.
Sebenarnya saya tak perlu memperpanjang tali kelambu membagi tips membuat kompos ala takakura. Sebab, informasi teknis sudah banyak tersedia di internet. Teman saya di kompasiana, Iden Wildensyah misalnya, menulis; Keranjang Takakura di Rumah Kami.
prinsip dasar kompos takakuraTapi untuk melengkapi info terdahulu yang pernah saya bagi pada salah satu sahabat yang berminat membuat pupuk alami dari sisa dapur, saya akan menambahi beberapa prinsip dasar yang sebaiknya tak langsung anda percayai, hehe.
#1. Keranjang khusus
Pembuatan Kompos ala Takakura menggunakan keranjang. Apakah perlu keranjang khusus? Di Jakarta (dan mungkin di kota lain) keranjang “ala takakura” yang memang didesain khusus, sepertinya mulai banyak dijual. Tapi bila tidak ada, keranjang sembarang pun bisa dipakai. Pastikan dasar dan sisi-sisinya berlubang-lubang supaya bisa dilalui udara. Bahkan bisa bikin pakai keranjang bambu atau dibikin dari papan sisa.
#2. Sekam dan Sabut Kelapa
Keberadaan sekam atau sabut kelapa menjadi penting dalam pengomposan ini. Gunanya untuk menyerap air (termasuk uap air), mengurangi bau, (dan katanya) mengontrol mikroba pengurai agar berkembang baik. Bila sekam dan sabut kelapa sulit didapat, apa bisa pakai bahan sintetis macam silica-gel? Soal bisa, ya bisa! Tapi,mbok ya kreatif sedikit. Bisa pakai jerami. Bila jerami tak ada? Rrr… tiru burung yang hendak bikin sarang, cabuti rumput di taman lalu keringkan. jadilah jerami rumput. Apa? Di gurun tak ada rumput? Punya tanaman di pot tidak? Kumpulkan daunnya, robek kecil-kecil dan keringkan? Hayooo, masih mau nanya?
#3. Kompos awal
Pada prakteknya, sampah yang hendak dikomposkan mesti dicampuraduk dengan kompos yang sudah jadi. Kompos awal akan menjadi starter, ragi, biang, atau apapun nama yang cocok. Bio-activator? Ada juga yang sebut begitu. Di dalam kompos, terkandung jasad renik yang berperan sebagai pengurai sampah. Ada yang bilang, dalam satu sendok tanah subur terdapat sekian milyar mikroba. Entah siapa yang sensus mending percaya saja ketimbang menghitung sendiri.
Tapi bila tak ada kompos? Masa’ tak jadi mengolah limbah dapur? Cari tanah di kebon, bongkar pot bunga. Tak punya juga, ya sudah… tak usah pakai kompos atau tanah. Beli yoghurt, duduk tenang-tenang dan nikmati yoghurt-nya. Setelah tenang, Sisakan yoghurt barang 1-2 sendok makan lalu campur dengan air bersih secangkir kecil. Cipratkan ke sampah di keranjang anda. Bakteri probiotik di yoghurt, bisa jadi pengurai. Yoghurt juga tidak ada? Ada tape, susu basi, sake, atau tuak tidak? Ahaha!
#4. Soal bau
Pengomposan pakai keranjang tak menimbulkan bau? Bau bukan karena keranjang, tapi karena bahan baku kompos. Proses pengomposan menimbulkan bau tak sedap biasanya bila terdapat sisa protein hewani di sana. Maka hindarkan memasukkan sisa makanan yang berupa tulang ikan, daging, atau telur. Sebaiknya hanya sampah sayur yang tak ikut dimasak atau kulit buah untuk dikomposkan dengan cara ini. Hindarkan pula bahan organis yang mengandung minyak, misal ampas kelapa atau sisa tempe goreng yang tidak habis dimakan. Kasihkan ke kucing saja.
#5. Masih soal bau
Yakin tak akan bau? Bukannya sampah “hijau” dalam arti sampah organis macam dedaunan segar masih banyak mengandung unsur nitrogen, dan saat terjadi proses dekomposisi akan banyak mengeluarkan gas ammonia?
Tumben cerdas, hehe. Kan sudah ada sekam dan sabut kelapa tadi itu sebagai penyerap bau. Makanya tadi dianjurkan ditambahi kompos yang sudah jadi yang juga mampu peredam bau. Tapi ya sudah karena tak punya kompos awal, selain “sampah hijau” campurkan juga sampah “coklat” sebagai bahan pengomposan. Bila sampah hijau banyak mengandung unsur nitrogen, sampah coklat banyak mengandung karbon. Ups, maaf. Sampah coklat yang dimaksud adalah sampah kering macam daun dan rumput kering atau serbuk gergaji
Keberadaan sampah coklat juga membantu mengurangi kadar air dalam bahan kompos. Kandungan air terlalu tinggi bikin becek, nggak ada ojek, mana hujan seperti kata cinta laura. Becek, bikin proses dekomposisi tak berjalan sempurna.
#6. Berapa Lama?
Setelah keranjang penuh, dan tunggu dua tiga minggu, kompos bisa digunakan.
#7. Berapa lama keranjang penuh?
Terserah, kalo anda tipikal penyampah bisa cepat penuh. Hehe. Maksud saya tergantung tingkat produksi sampah di rumah masing-masing. Di rumah LeBul, perlu sekitar 1,5 bulan untuk penuh. Bila sehari bisa penuh ya tak ada masalah. Kalo produksi sampah banyak, jangan-jangan bisa jadi industri rumah tangga.
Siapa tahu? Chiki chiki bum bum alala bum bum…
[Syamar; rh, 030211]